Seribu Cahaya
Malam hari yang begitu gelap. Aku
duduk terpojok di sebuah kamar. Begitu gelap dan aku hanya terdiam memandangi
jendela. Cahaya bulan menembus jendela kamarku. Secercah cahaya terlihat di
dalam kamarku yang gelap. Cahaya itu menarikku keluar. Aku terpancing dan
kulangkahkan kedua kakiku ke depan teras rumahku. Aku memandang ke atas. Ke
arah langit yang begitu gelap, berwarna hitam pekat. Bulan yang tadinya
memancingku keluar, sekarang telah tertutup awan kelabu. Gelap dan semakin
gelap. Hendak kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumahku. Namun satu sinar
menarikku kembali. Aku memandang ke atas, ke arah langit. Sinar itu kecil dan
berada jauh, namun benar-benar indah. Andaikan aku adalah benda dari sinar yang
dapat membuat indah seluruh angkasa yang gelap ini. Meskipun satu, meskipun
sendiri, maskipun tak mampu membuat angkasa ini terkena sinarnya, tapi sungguh
indah jika aku dapat menerangi satu saja planet yang bernama bumi ini. Aku
melanjutkan melihat benda yang bernama bintang itu. Aku berpikir layaknya
seorang astrolog, apakah itu bintang vega? Ataukah bintang kejora yang sering
kunyanyikan saat aku kecil dulu?
Suara
angin yang bertiup kencang itu menyuruhku masuk ke dalam rumah, seolah
melarangku melihat keindahan sinar bintang di angkasa yang luas ini. Aku tersenyum
sesaat pada langit, kemudian kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumahku yang
hangat. Sebuah pensil dan buku telah menantiku. Tugas dari sekolah kukerjakan
dengan santai. Sambil memainkan telepon genggamku aku menghitung turunan dari
sebuah fungsi yang dapat mambuatku terkecoh akan keribetan soal yang kuhadapi
ini. Aku menghela napas, membiarkan diriku dan otakku tenang untuk sejenak.
Sungguh menyusahkan jika dengan otakku yang
sedang tidak ingin bekerjasama ini dipaksa untuk berpikir lagi, mungkin
otakku terlalu lelah karena suatu hal yang kulalami siang tadi. Ya, memang melelahkan
mengerjakan begitu banyak soal dari berbagai macam pelajaran di sekolah,
ditambah lagi ada rapat osis untuk acara perpisahan kakak kelas tiga. Sedangkan
aku sebagai panitia acara yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas
ini harus membimbing adik kelas yang tak tahu menahu tentang organisasi apa
lagi tugas-tugas yang harus dilakukan seorang panitia. Mengajarkan ini-itu, belajar
dan mengerjakan tugas ini-itu padahal aku tidak sempat masuk saat jam
pelajaran. Begitu beratnya tugas otakku siang tadi, apa lagi saat guru fisikaku
yang masih muda itu berkata padaku “Kamu ga usah remedial karena kamu ga masuk
saat saya memberi ujian praktek. Jadi usahakan saja agar tidak remedial di
ujian semester nanti“ dengan senyum merekah di bibirnya, serasa membuatku mau
mati saja. “Guru ga punya perasaan. Huh!“ rutukku dalam hati ketika berjalan
kembali ke bangkuku.
Teman
sebangkuku hanya bertanya kenapa, aku menjawab dengan nada kesal, menceritakan
seluruh kekesalanku pada guru fisika yang tidak punya perasaan itu. “Huh tuh
guru nyebelin abis. Aku ga dikasih remedial, padahal aku rapat osis kan memang
ada tanggungjawab sebagai panitia. Lagian kan untuk sekolah ini juga. Coba kalau
aku ga rapat dan sekalian nge-dekor panggung, bisa-bisa acaranya bakalan nol
dimata siapa pun. Dan pastinya bikin malu sekolah kan? Hargain juga dong
seorang pelajar. Pelajar tuh ga cuma belajar itu-itu doang. Ga kaya guru
fisika, kan belajarnya fisika mulu. Huh dasdor deh tuh guru“ ujarku berapi-api.
Temanku hanya meng-iyakan saja sambil menyuruhku agar sabar. Kalau saja aku guru dari guru itu, pasti aku
kerjain abis-abisan seperti dia kerjain aku juga. Tapi jangan deh, apa bedanya
aku sama si guru itu.
Sepulang
sekolah aku melihat panggung sudah selesai dan tertata rapih di tengah lapangan.
Guru yang menjadi koordinator mengumumkan kepada seluruh panitia untuk acara
perpisahan besok dilarang pulang terlebih dahulu. Jadi aku dan beberapa temanku
pergi ke ruang guru, mencetak rundown acara.
Perutku bernyanyi ria, memberiku peringatan seolah berkata “Woi, isiin dong.
Gue udah mau mati nih kelaparan karena ga loe isi-isi dari tadi pagi“. Aku
menuruti kata si perut yang sudah keroncongan, meminta ijin kepada
koordinatorku dan membeli makanan berbentuk bola yang terbuat dari daging.
Bakso, itulah makanan yang kumakan, tapi ini adalah jajanan karena ini adalah
bakso yang digoreng dengan tepung jadi namanya bakso goreng. Disajikan dengan
saus yang pedas benar-benar enak masuk di mulutku. Si perut sudah tidak
mengomel lagi karena sudah kuberi pengganjal. Walaupun sedikit, perutku ini
memang hebat, bisa diajak kompromi bahkan dalam keadaan lagi sesibuk ini.
Setelah
jajan aku masuk lagi ke dalam ruang guru, di sana temanku juga sedang memakan
bekal makanan yang dibawanya dari rumah, “Wah pada tahu aja kalau hari ini
bakal sibuk banget“ pikirku ketika mereka mengajakku makan bersama. Lumayan
bisa dapat makanan gratis. Aku menghampiri mereka perlahan. Salah satu temanku
yang biasanya dipanggil Icha, mengajakku duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan
sendok makan yang berisi nasi dengan potongan danging rendang. Terlihat begitu
enak di mataku. Aku langsung mengambil sendok tersebut dari temanku itu.
Kulahap makanan tersebut dengan mata tertutup. “Wuih. Enak gila. Siapa yang
bikin?” tanyaku pada ketiga temanku. “Oh jelas ibuku. Ya kan Mi?” ucap temanku
yang bernama Afriansyah. Dia biasa memanggil satu temanku lagi yang bernama Andriany
dengan sebutan Mami, begitu juga sebaliknya. “Iya, bikinan ibunya Papi memang
enak loh..” kini ujar Andri yang memanggil Afri dengan sebutan Papi. Baiklah,
acara makan-makan telah berakhir dengan terdengarnya sendawa dari salah satu
mulut temanku. Aku mencari minuman, dengan senang hati Andri memberikan minuman
rasa jeruknya kepadaku.
Tiba-tiba
koordinatorku memanggilku. Aku segera menghadapnya. Dia menjelaskan bahwa rundown acara yang telah dicetak itu
harus disusun ulang. “Oh my.. kenapa
harus susun ulang?” tanyaku dalam hati. Namun aku menuruti kata koordinatorku.
Aku dan temanku Icha menyusunnya kembali. Sedangkan Afri dan Andri asik
menggunting kupon yang akan digunakan untuk acara perpisahan besok. Waktu
menunjukkan pukul lima sore. Koordinator kami mengatakan bahwa kami sudah boleh
pulang. Sesegera mungkin aku dan ketiga temanku membereskan barang
masing-masing. Sore itu aku dan ketiga temanku pulang bersama. Berjalan ke arah
pemberhentian angkot dan menunggu angkot datang agar kami dapat menaikinya
Jam
dinding di kamarku membawaku kembali ke alam nyata. Aku terdiam, melanjutkan
lagi tugas matematikaku. Tak lama kemudian tugasku sudah selesai dengan
mudahnya. Kulihat jam dindingku, waktu menunjukkan pukul sebelas lewat tiga
puluh menit. “Waktunya tidur” ucapku. Ya.. besok aku akan menjadi panitia dan
pastinya lebih melelahkan dari tadi siang. Aku berjalan ke tempat tidurku yang
empuk yang seperti potongan-potongan awan di langit biru pagi hari. Kubaringkan
badanku di atasnya, menaruh kepalaku dibantal dan memeluk guling kesayanganku.
Kupejamkan kedua mataku dan membiarkannya beristirahat hingga aku terbangun di
esok hari.
Hari
esok telah tiba. Aku terbangun dengan mata masih terpejam. Setelah benar-benar
membuka mataku, aku berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa handuk merah
dan segera mandi. Selesai mandi aku memakai baju khusus panitia, baju berwarna
biru langit yang diberikan oleh koordinatorku kemarin. Jam dinding menunjukkan
pukul lima lewat lima belas menit. Aku bergegas memakai sandalku, tak lupa aku mengecek
ulang isi tasku. Setelah kupastikan tak ada satu barang pun yang tertinggal,
aku segera berangkat. Ayahku memboncengku. Sesampainya di depan gerbang
sekolah, aku turun dari motor ayahku. Memberi salam dan meyaliminya. Kemudian
aku berlari ke arah ruang guru. Teman-temanku sudah datang dan menyiapkan
dandanan mereka masing-masing. Aku sibuk berkutit dengan kemeja yang kukenakan
“Rasanya tidak cocok jika aku yang memakainya” batinku.
Koordinator
memanggil kami ke lapangan. Menyuruh kami mengatur barisan. Bayangkan saja jika
dilihat dari kejauhan, kami benar-benar seperti semut yang berbaris rapih atas
perintah sang ratu semut. Koordinator kami memanggil panitia bagian, saat
panitia acara di panggil aku dan teman-temanku langsung berteriak, menandakan
bahwa semua panitia acara tidak ada yang absen di hari sepenting ini. Beberapa
menit kemudian acara dimulai. Aku dan teman-teman yang lain sibuk memanggil
para pengisi acara. Kulihat ke sana kemari, begitu banyak stand dari para
sponsor. “Perpisahan kali ini sungguh menghebohkan. Ditambah ada walikota,
DPRD, kepala dinas pendidikan kota Medan dan finalis Miss Indonesia.
Benar-benar mewah ya. Ada donor darah pula. Top banget sekolah kita ini
sampai-sampai memblokir sebagian jalan. Wuih keren” ucapku pada Icha yang
berada tepat di sampingku. Siang pun tiba, satu jam dipergunakan panitia,
guru-guru dan para peserta untuk makan siang. Nasi padang adalah santapan kami.
Dengan ayam goreng sebagai lauknya, aku menikmati makananku itu. Setelah makan
aku berjalan ke arah bus mini milik Palang Merah Indonesia. Aku berniat
mendonorkan sebagian darahku pada orang-orang yang sedang membutuhkan. Namun
ketika pengetesan darah, ternyata Hb darahku rendah, kakak yang mengetesku
mengatakan bahwa aku kecapekan atau mungkin mendekati masa menstruasiku.
Akhirnya dengan langkah gontai aku kembali masuk ke dalam sekolah. Waktu makan
siang pun habis. Kami kembali bertugas sebagai panitia. Sibuk mencari-cari para
pengisi acara selanjutnya.
Waktu terus
berlalu, aku melihat jam tanganku. Pukul enam lewat empat puluh menit. Guru-guru,
termasuk koordinator kami mengumpulkan kami, para panitia. Banyak botol minuman
yang disajikan. “Minumlah atas keberhasilan kalian. Acara benar-benar sukses.
Terima kasih kepada seluruh panitia yang sudah menyukseskan acara ini” ucap
guru kami yang langsung membanjur kami dengan teh botol yang dipegangnya.
Sontak kami berlari menjauh. Teman-teman yang lain ada yang berwajah cemberut
karena bajunya basah, ada juga yang tertawa padahal sudah basah habis-habisan
dengan badan lengket terkena air teh. Lalu ada yang tersenyum-senyum karena
tidak terkena air teh tersebut, namun akhirnya kena juga, bibirnya seketika
maju membuat wajahnya jelek. Aku sendiri hanya tertawa kecil, tidak terkena,
tidak ada orang yang berniat mengenaiku, bajuku jelas tidak basah dan yang
paling penting aku bahagia karena acara hari ini sukses besar.
Aku dan para panitia lainnya
membereskan kursi-kursi di lapangan. Menaruhnya ke sisi lapangan. Setelah
selesai bersih-bersih, kami dipersilahkan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Ayahku mengirimiku pesan, menanyakan kapan aku pulang. Dan aku membalas
pesannya dengan memberitahukan bahwa aku pulang bersama ketiga temanku. Ayahku
menyetujuinya. Aku, Icha, Afri dan Andri berjalan di gelapnya malam. Penuh
sorot lampu mobil dan motor yang melewati kami seakan kamilah bintang dari
suatu konser akbar yang sedang diadakan pada hari itu. Aku dan ketiga temanku
menyeberangi jalan besar, tepatnya jalan Gatot Subroto. Menunggu angkot
bernomor 12 untuk kami naiki. Icha turun lebih dulu karena rumahnya di
Pasundan, jarak paling dekat dari sekolah kami. Kemudian Afri turun di Pasar
Sei Sikambing. Sedangkan Andri menaiki angkot lain. Tinggallah aku sendiri di
dalam angkot. Menikmati irama dari lagu yang sedang kuputar saat ini. Lagu Bravery-nya L’Arc – En – Ciel membuatku
senang, apa lagi di hari yang menyenangkan ini aku dan teman-temanku telah
menyukseskan acara perpisahan untuk kakak kelas kami. Sesampainya di jalan
dekat rumahku, aku berjalan pelan. Menatap ke atas, ke arah langit yang gelap.
Bulan tertutupi awan kelabu. Namun, begitu banyak bintang di angkasa seolah
memcerminkan kabahagiaan hatiku saat ini. Aku tersenyum lebar. “Seribu bintang,
seribu cahaya yang menerangi dunia ini, dan juga duniaku” ucapku pelan. Aku
melanjutkan perjalananku, seperti perjalanan hidupku yang harus terus kulalui.
Aku harus seperti bintang-bintang itu. Terus bercahaya meskipun kegelapan
berusaha menyingkirkan sinarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar