Sabtu, 28 Juli 2012

Cerpenku (Seribu Cahaya)


Seribu Cahaya

            Malam hari yang begitu gelap. Aku duduk terpojok di sebuah kamar. Begitu gelap dan aku hanya terdiam memandangi jendela. Cahaya bulan menembus jendela kamarku. Secercah cahaya terlihat di dalam kamarku yang gelap. Cahaya itu menarikku keluar. Aku terpancing dan kulangkahkan kedua kakiku ke depan teras rumahku. Aku memandang ke atas. Ke arah langit yang begitu gelap, berwarna hitam pekat. Bulan yang tadinya memancingku keluar, sekarang telah tertutup awan kelabu. Gelap dan semakin gelap. Hendak kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumahku. Namun satu sinar menarikku kembali. Aku memandang ke atas, ke arah langit. Sinar itu kecil dan berada jauh, namun benar-benar indah. Andaikan aku adalah benda dari sinar yang dapat membuat indah seluruh angkasa yang gelap ini. Meskipun satu, meskipun sendiri, maskipun tak mampu membuat angkasa ini terkena sinarnya, tapi sungguh indah jika aku dapat menerangi satu saja planet yang bernama bumi ini. Aku melanjutkan melihat benda yang bernama bintang itu. Aku berpikir layaknya seorang astrolog, apakah itu bintang vega? Ataukah bintang kejora yang sering kunyanyikan saat aku kecil dulu?
            Suara angin yang bertiup kencang itu menyuruhku masuk ke dalam rumah, seolah melarangku melihat keindahan sinar bintang di angkasa yang luas ini. Aku tersenyum sesaat pada langit, kemudian kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumahku yang hangat. Sebuah pensil dan buku telah menantiku. Tugas dari sekolah kukerjakan dengan santai. Sambil memainkan telepon genggamku aku menghitung turunan dari sebuah fungsi yang dapat mambuatku terkecoh akan keribetan soal yang kuhadapi ini. Aku menghela napas, membiarkan diriku dan otakku tenang untuk sejenak. Sungguh menyusahkan jika dengan otakku yang  sedang tidak ingin bekerjasama ini dipaksa untuk berpikir lagi, mungkin otakku terlalu lelah karena suatu hal yang kulalami siang tadi. Ya, memang melelahkan mengerjakan begitu banyak soal dari berbagai macam pelajaran di sekolah, ditambah lagi ada rapat osis untuk acara perpisahan kakak kelas tiga. Sedangkan aku sebagai panitia acara yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas ini harus membimbing adik kelas yang tak tahu menahu tentang organisasi apa lagi tugas-tugas yang harus dilakukan seorang panitia. Mengajarkan ini-itu, belajar dan mengerjakan tugas ini-itu padahal aku tidak sempat masuk saat jam pelajaran. Begitu beratnya tugas otakku siang tadi, apa lagi saat guru fisikaku yang masih muda itu berkata padaku “Kamu ga usah remedial karena kamu ga masuk saat saya memberi ujian praktek. Jadi usahakan saja agar tidak remedial di ujian semester nanti“ dengan senyum merekah di bibirnya, serasa membuatku mau mati saja. “Guru ga punya perasaan. Huh!“ rutukku dalam hati ketika berjalan kembali ke bangkuku.
            Teman sebangkuku hanya bertanya kenapa, aku menjawab dengan nada kesal, menceritakan seluruh kekesalanku pada guru fisika yang tidak punya perasaan itu. “Huh tuh guru nyebelin abis. Aku ga dikasih remedial, padahal aku rapat osis kan memang ada tanggungjawab sebagai panitia. Lagian kan untuk sekolah ini juga. Coba kalau aku ga rapat dan sekalian nge-dekor panggung, bisa-bisa acaranya bakalan nol dimata siapa pun. Dan pastinya bikin malu sekolah kan? Hargain juga dong seorang pelajar. Pelajar tuh ga cuma belajar itu-itu doang. Ga kaya guru fisika, kan belajarnya fisika mulu. Huh dasdor deh tuh guru“ ujarku berapi-api. Temanku hanya meng-iyakan saja sambil menyuruhku agar sabar. Kalau saja aku guru dari guru itu, pasti aku kerjain abis-abisan seperti dia kerjain aku juga. Tapi jangan deh, apa bedanya aku sama si guru itu.
            Sepulang sekolah aku melihat panggung sudah selesai dan tertata rapih di tengah lapangan. Guru yang menjadi koordinator mengumumkan kepada seluruh panitia untuk acara perpisahan besok dilarang pulang terlebih dahulu. Jadi aku dan beberapa temanku pergi ke ruang guru, mencetak rundown acara. Perutku bernyanyi ria, memberiku peringatan seolah berkata “Woi, isiin dong. Gue udah mau mati nih kelaparan karena ga loe isi-isi dari tadi pagi“. Aku menuruti kata si perut yang sudah keroncongan, meminta ijin kepada koordinatorku dan membeli makanan berbentuk bola yang terbuat dari daging. Bakso, itulah makanan yang kumakan, tapi ini adalah jajanan karena ini adalah bakso yang digoreng dengan tepung jadi namanya bakso goreng. Disajikan dengan saus yang pedas benar-benar enak masuk di mulutku. Si perut sudah tidak mengomel lagi karena sudah kuberi pengganjal. Walaupun sedikit, perutku ini memang hebat, bisa diajak kompromi bahkan dalam keadaan lagi sesibuk ini.
            Setelah jajan aku masuk lagi ke dalam ruang guru, di sana temanku juga sedang memakan bekal makanan yang dibawanya dari rumah, “Wah pada tahu aja kalau hari ini bakal sibuk banget“ pikirku ketika mereka mengajakku makan bersama. Lumayan bisa dapat makanan gratis. Aku menghampiri mereka perlahan. Salah satu temanku yang biasanya dipanggil Icha, mengajakku duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan sendok makan yang berisi nasi dengan potongan danging rendang. Terlihat begitu enak di mataku. Aku langsung mengambil sendok tersebut dari temanku itu. Kulahap makanan tersebut dengan mata tertutup. “Wuih. Enak gila. Siapa yang bikin?” tanyaku pada ketiga temanku. “Oh jelas ibuku. Ya kan Mi?” ucap temanku yang bernama Afriansyah. Dia biasa memanggil satu temanku lagi yang bernama Andriany dengan sebutan Mami, begitu juga sebaliknya. “Iya, bikinan ibunya Papi memang enak loh..” kini ujar Andri yang memanggil Afri dengan sebutan Papi. Baiklah, acara makan-makan telah berakhir dengan terdengarnya sendawa dari salah satu mulut temanku. Aku mencari minuman, dengan senang hati Andri memberikan minuman rasa jeruknya kepadaku.
            Tiba-tiba koordinatorku memanggilku. Aku segera menghadapnya. Dia menjelaskan bahwa rundown acara yang telah dicetak itu harus disusun ulang. “Oh my.. kenapa harus susun ulang?” tanyaku dalam hati. Namun aku menuruti kata koordinatorku. Aku dan temanku Icha menyusunnya kembali. Sedangkan Afri dan Andri asik menggunting kupon yang akan digunakan untuk acara perpisahan besok. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Koordinator kami mengatakan bahwa kami sudah boleh pulang. Sesegera mungkin aku dan ketiga temanku membereskan barang masing-masing. Sore itu aku dan ketiga temanku pulang bersama. Berjalan ke arah pemberhentian angkot dan menunggu angkot datang agar kami dapat menaikinya
            Jam dinding di kamarku membawaku kembali ke alam nyata. Aku terdiam, melanjutkan lagi tugas matematikaku. Tak lama kemudian tugasku sudah selesai dengan mudahnya. Kulihat jam dindingku, waktu menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. “Waktunya tidur” ucapku. Ya.. besok aku akan menjadi panitia dan pastinya lebih melelahkan dari tadi siang. Aku berjalan ke tempat tidurku yang empuk yang seperti potongan-potongan awan di langit biru pagi hari. Kubaringkan badanku di atasnya, menaruh kepalaku dibantal dan memeluk guling kesayanganku. Kupejamkan kedua mataku dan membiarkannya beristirahat hingga aku terbangun di esok hari.
            Hari esok telah tiba. Aku terbangun dengan mata masih terpejam. Setelah benar-benar membuka mataku, aku berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa handuk merah dan segera mandi. Selesai mandi aku memakai baju khusus panitia, baju berwarna biru langit yang diberikan oleh koordinatorku kemarin. Jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Aku bergegas memakai sandalku, tak lupa aku mengecek ulang isi tasku. Setelah kupastikan tak ada satu barang pun yang tertinggal, aku segera berangkat. Ayahku memboncengku. Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku turun dari motor ayahku. Memberi salam dan meyaliminya. Kemudian aku berlari ke arah ruang guru. Teman-temanku sudah datang dan menyiapkan dandanan mereka masing-masing. Aku sibuk berkutit dengan kemeja yang kukenakan “Rasanya tidak cocok jika aku yang memakainya” batinku.
            Koordinator memanggil kami ke lapangan. Menyuruh kami mengatur barisan. Bayangkan saja jika dilihat dari kejauhan, kami benar-benar seperti semut yang berbaris rapih atas perintah sang ratu semut. Koordinator kami memanggil panitia bagian, saat panitia acara di panggil aku dan teman-temanku langsung berteriak, menandakan bahwa semua panitia acara tidak ada yang absen di hari sepenting ini. Beberapa menit kemudian acara dimulai. Aku dan teman-teman yang lain sibuk memanggil para pengisi acara. Kulihat ke sana kemari, begitu banyak stand dari para sponsor. “Perpisahan kali ini sungguh menghebohkan. Ditambah ada walikota, DPRD, kepala dinas pendidikan kota Medan dan finalis Miss Indonesia. Benar-benar mewah ya. Ada donor darah pula. Top banget sekolah kita ini sampai-sampai memblokir sebagian jalan. Wuih keren” ucapku pada Icha yang berada tepat di sampingku. Siang pun tiba, satu jam dipergunakan panitia, guru-guru dan para peserta untuk makan siang. Nasi padang adalah santapan kami. Dengan ayam goreng sebagai lauknya, aku menikmati makananku itu. Setelah makan aku berjalan ke arah bus mini milik Palang Merah Indonesia. Aku berniat mendonorkan sebagian darahku pada orang-orang yang sedang membutuhkan. Namun ketika pengetesan darah, ternyata Hb darahku rendah, kakak yang mengetesku mengatakan bahwa aku kecapekan atau mungkin mendekati masa menstruasiku. Akhirnya dengan langkah gontai aku kembali masuk ke dalam sekolah. Waktu makan siang pun habis. Kami kembali bertugas sebagai panitia. Sibuk mencari-cari para pengisi acara selanjutnya.
Waktu terus berlalu, aku melihat jam tanganku. Pukul enam lewat empat puluh menit. Guru-guru, termasuk koordinator kami mengumpulkan kami, para panitia. Banyak botol minuman yang disajikan. “Minumlah atas keberhasilan kalian. Acara benar-benar sukses. Terima kasih kepada seluruh panitia yang sudah menyukseskan acara ini” ucap guru kami yang langsung membanjur kami dengan teh botol yang dipegangnya. Sontak kami berlari menjauh. Teman-teman yang lain ada yang berwajah cemberut karena bajunya basah, ada juga yang tertawa padahal sudah basah habis-habisan dengan badan lengket terkena air teh. Lalu ada yang tersenyum-senyum karena tidak terkena air teh tersebut, namun akhirnya kena juga, bibirnya seketika maju membuat wajahnya jelek. Aku sendiri hanya tertawa kecil, tidak terkena, tidak ada orang yang berniat mengenaiku, bajuku jelas tidak basah dan yang paling penting aku bahagia karena acara hari ini sukses besar.
            Aku dan para panitia lainnya membereskan kursi-kursi di lapangan. Menaruhnya ke sisi lapangan. Setelah selesai bersih-bersih, kami dipersilahkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ayahku mengirimiku pesan, menanyakan kapan aku pulang. Dan aku membalas pesannya dengan memberitahukan bahwa aku pulang bersama ketiga temanku. Ayahku menyetujuinya. Aku, Icha, Afri dan Andri berjalan di gelapnya malam. Penuh sorot lampu mobil dan motor yang melewati kami seakan kamilah bintang dari suatu konser akbar yang sedang diadakan pada hari itu. Aku dan ketiga temanku menyeberangi jalan besar, tepatnya jalan Gatot Subroto. Menunggu angkot bernomor 12 untuk kami naiki. Icha turun lebih dulu karena rumahnya di Pasundan, jarak paling dekat dari sekolah kami. Kemudian Afri turun di Pasar Sei Sikambing. Sedangkan Andri menaiki angkot lain. Tinggallah aku sendiri di dalam angkot. Menikmati irama dari lagu yang sedang kuputar saat ini. Lagu Bravery-nya L’Arc – En – Ciel membuatku senang, apa lagi di hari yang menyenangkan ini aku dan teman-temanku telah menyukseskan acara perpisahan untuk kakak kelas kami. Sesampainya di jalan dekat rumahku, aku berjalan pelan. Menatap ke atas, ke arah langit yang gelap. Bulan tertutupi awan kelabu. Namun, begitu banyak bintang di angkasa seolah memcerminkan kabahagiaan hatiku saat ini. Aku tersenyum lebar. “Seribu bintang, seribu cahaya yang menerangi dunia ini, dan juga duniaku” ucapku pelan. Aku melanjutkan perjalananku, seperti perjalanan hidupku yang harus terus kulalui. Aku harus seperti bintang-bintang itu. Terus bercahaya meskipun kegelapan berusaha menyingkirkan sinarnya.